Menjadi Khalifah yang Ramah Bumi: Tinjauan Etis dari Perspektif Islam

Dalam lanskap etika global yang semakin peduli terhadap keberlanjutan, pertanyaan besar kembali menggema: bagaimana agama memandu manusia dalam relasinya dengan lingkungan? Islam, sebagai agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak menempatkan manusia hanya sebagai makhluk spiritual, tetapi juga sebagai makhluk ekologis. Dalam kerangka Al-Qur’an, manusia diangkat menjadi khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30), sebuah status yang membawa amanah, tanggung jawab, dan moralitas ekologis. Namun, dalam praktiknya, konsepsi “khalifah” kerap direduksi menjadi legitimasi kekuasaan atas alam, bukan tanggung jawab untuk merawatnya. Artikel ini berusaha meninjau ulang makna khalifah dari sudut pandang etis dalam Islam dan menautkannya dengan urgensi menjaga bumi dalam konteks ekologi kontemporer.

Kata khalifah berasal dari akar kata khalafa yang berarti menggantikan atau datang sesudah. Dalam Al-Qur’an, konsep ini muncul dalam beberapa ayat penting, di antaranya Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 ketika Allah berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Ayat ini tidak menunjuk kepada Adam semata, tetapi kepada umat manusia secara umum sebagai pewaris bumi (Nasr, 1996). Khalifah bukan sekadar pemimpin, melainkan juga pemelihara (guardian), yang tugasnya bukan mengeksploitasi, tetapi menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Menurut Fazlur Rahman (1982), makna khalifah bukanlah dominasi melainkan representasi kehendak Tuhan di bumi. Oleh karena itu, menjadi khalifah berarti meniru sifat-sifat Allah yang penuh kasih, adil, dan menjaga keteraturan. Maka, ketika manusia merusak bumi atas nama pembangunan, sesungguhnya ia telah menyimpang dari tugas kekhalifahan.

Al-Qur’an menyiratkan prinsip-prinsip dasar etika lingkungan. Ayat-ayat yang menekankan mizan (keseimbangan), seperti dalam Q.S. Ar-Rahman [55]: 7-8, menyiratkan bahwa alam semesta beroperasi dalam tatanan yang harmonis. Ketika manusia menciptakan ketimpangan—dengan menebang hutan sembarangan, mencemari sungai, atau mempercepat pemanasan global—ia sesungguhnya telah melampaui batas (israf), sesuatu yang dicela dalam Islam (Q.S. Al-A’raf [7]: 31).

Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan konkret dalam memperlakukan alam. Beliau melarang penebangan pohon di waktu damai, menganjurkan hemat air bahkan saat berwudhu dengan sungai di sampingnya (Abu Dawud, no. 96), dan memerintahkan umatnya untuk tidak menyiksa hewan. Lebih dari itu, dalam hadis riwayat Bukhari, disebutkan bahwa seseorang yang memberi minum seekor anjing mendapat ampunan dari Allah. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kasih sayang terhadap makhluk hidup merupakan indikator keimanan.

Ironisnya, di era modern ini, manusia justru menjadi aktor utama kerusakan bumi. Dengan dalih pembangunan, hutan digunduli, laut dicemari, dan udara dikotori. Semua atas nama kemajuan. Namun, dari perspektif Islam, pembangunan yang tidak berkelanjutan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan.

Konsep amanah dalam Al-Qur’an (Q.S. Al-Ahzab [33]: 72) menyiratkan bahwa tanggung jawab menjadi khalifah bukanlah hak istimewa, melainkan beban moral yang harus dijaga. Oleh karena itu, pembangunan yang sejati dalam Islam bukanlah yang mengejar pertumbuhan ekonomi semata, tetapi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam (Izzi Dien, 2000).

Dalam konteks kontemporer, bagaimana seharusnya umat Islam mewujudkan kekhalifahan ekologis? Salah satu jalannya adalah melalui pendidikan ekologis berbasis etika Islam. Sekolah-sekolah dan pesantren dapat memasukkan kurikulum yang menekankan nilai-nilai perawatan bumi sebagai bagian dari ibadah. Di samping itu, penguatan komunitas hijau berbasis masjid dapat menjadi medium efektif. Masjid sebagai pusat peradaban Islam bisa memulai gerakan seperti zero waste, urban farming, hingga konservasi air.

Kebijakan publik yang berlandaskan maqashid al-shari’ah (tujuan syariat) juga harus digalakkan. Perlindungan lingkungan masuk dalam kategori hifz al-bi’ah yang bisa dilihat sebagai turunan dari hifz al-nafs (melindungi kehidupan) dan hifz al-mal (melindungi sumber daya). Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim harus merumuskan kebijakan lingkungan yang tidak bertentangan dengan prinsip tauhid, yaitu kesatuan dan keterhubungan antara semua ciptaan Allah.

Menjadi khalifah yang ramah bumi bukanlah idealisme utopis, melainkan panggilan teologis yang konkret dan mendesak. Islam tidak hanya memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, tetapi juga sebagai penjaga bumi yang bertanggung jawab. Maka, ketika bumi menjerit karena krisis iklim, polusi, dan kepunahan, umat Islam tidak bisa diam. Tanggung jawab spiritual itu menuntut tindakan. Karena sejatinya, menjaga lingkungan bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga wujud dari penghambaan kepada Tuhan.

Daftar Pustaka
Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abu Dawud.
Bukhari, M. I. (n.d.). Sahih al-Bukhari.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Izzi Dien, M. (2000). The Environmental Dimensions of Islam. Cambridge: Lutterworth Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.
Qur’an al-Karim. (n.d.). Translations and commentary as cited.

Bagikan

Berikan Masukan Anda

Kami di CIES berkomitmen untuk terus menghadirkan konten yang berkualitas dan relevan seputar studi fokus kami. 

Kegiatan

Ebook

Publikasi buku hasil kajian dan pengembangan keilmuan dari para peneliti CIES

Jurnal

Artikel ilmiah terkini yang mengkaji isu lingkungan dalam perspektif Islam secara multidisipliner.