Dalam percakapan global tentang lingkungan, umat Islam sering kali berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh banyak negara Muslim menuntut pemanfaatan maksimal demi pembangunan. Di sisi lain, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut menimbulkan krisis ekologis yang tak lagi bisa diabaikan. Di tengah tarik-ulur ini, muncul pertanyaan penting: apakah Islam, melalui perangkat hukum dan moralnya, memiliki posisi yang jelas tentang bagaimana manusia seharusnya memanfaatkan alam? Di sinilah fiqh lingkungan hadir, bukan sekadar sebagai disiplin baru, tetapi sebagai bentuk jawaban dari Islam terhadap kebutuhan zaman: menjaga keberlangsungan alam sambil memenuhi kebutuhan manusia.
Fiqh lingkungan tidak berdiri dalam ruang hampa. Ia merupakan perluasan dari maqashid al-shari’ah, atau tujuan-tujuan syariat, yang berusaha menjaga lima hal utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks modern, para ulama dan pemikir Muslim kontemporer menambahkan satu dimensi baru yang tak kalah penting, yaitu perlindungan terhadap lingkungan (hifz al-bi’ah), sebagai basis bagi terjaganya tujuan-tujuan tersebut (Izzi Dien, 2000). Dengan demikian, lingkungan tidak lagi dilihat sebagai ruang pasif untuk dieksploitasi, tetapi sebagai amanah Tuhan yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam sangat banyak dan seringkali bernuansa apresiatif. Alam dipandang sebagai ayat-ayat Tuhan yang terbentang (Q.S. Fussilat [41]: 53), sebagai tanda kekuasaan-Nya (Q.S. Al-Baqarah [2]: 164), dan sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal-Nya. Dalam kerangka ini, sumber daya alam adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang memiliki hak untuk dihormati dan tidak dirusak sembarangan. Al-Qur’an juga memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi setelah sebelumnya diperbaiki (Q.S. Al-A’raf [7]: 56), yang dalam konteks hari ini dapat dimaknai sebagai kritik terhadap model pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan.
Secara fiqh, prinsip-prinsip dasar yang relevan untuk membentuk pemahaman Islam tentang lingkungan dapat ditelusuri melalui kaidah-kaidah usul dan qawa’id fiqhiyyah. Salah satu kaidah penting adalah “la darar wa la dirar” (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain), yang dijadikan fondasi oleh banyak fuqaha dalam merumuskan batasan pemanfaatan sumber daya alam (Al-Qaradawi, 2001). Eksploitasi tambang, penebangan hutan, atau penggunaan pestisida berlebihan yang menimbulkan bahaya jangka panjang bagi masyarakat luas secara fiqh bisa dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini.
Fiqh juga mengenal konsep hisbah, yakni sistem pengawasan sosial dalam masyarakat Islam. Dalam konteks lingkungan, hisbah dapat dipahami sebagai mekanisme sosial dan hukum untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Seorang muhtasib, misalnya, dapat mengambil tindakan terhadap pelaku pencemaran sungai, perusakan hutan, atau pembakaran lahan. Ini menunjukkan bahwa dalam sejarah Islam klasik sekalipun, ada perangkat kelembagaan untuk mengatur relasi manusia dan lingkungannya (Nasr, 1996).
Lebih jauh lagi, Islam juga mengenal konsep milkiyyah ammah (kepemilikan umum), yang dalam fiqh berarti bahwa air, api, padang rumput, dan sumber daya dasar lainnya adalah milik bersama umat manusia. Hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud, no. 3470). Hadis ini menolak privatisasi ekstrem terhadap sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Artinya, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan demi kepentingan korporasi atau elite tertentu adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai fiqh klasik itu sendiri.
Dalam tradisi fikih, ada pula pembahasan mengenai maslahah mursalah (kemaslahatan yang tidak disebut secara eksplisit dalam nash), yang dapat dijadikan dasar legal dalam merumuskan kebijakan lingkungan kontemporer. Misalnya, pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai atau penerapan pajak karbon bisa dibenarkan secara fiqh jika dipandang membawa kemaslahatan umum dan mencegah kerusakan lingkungan (Kamali, 2010). Di sinilah kita melihat fleksibilitas hukum Islam dalam menjawab tantangan zaman, termasuk persoalan ekologi.
Namun demikian, fiqh lingkungan tidak bisa berdiri sendiri tanpa reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dan praktik sosial keagamaan. Banyak ritual dan ibadah dalam Islam yang sebenarnya membawa pesan ekologis—seperti larangan menyia-nyiakan air saat wudhu, anjuran menanam pohon bahkan menjelang kiamat, atau larangan membunuh hewan tanpa alasan—namun jarang ditransformasikan menjadi kesadaran kolektif. Di sini dibutuhkan pendekatan pendidikan Islam yang progresif, yang tidak hanya fokus pada aspek ibadah formal, tetapi juga membentuk sensitivitas ekologis sejak dini.
Kritik terhadap fiqh lingkungan sering muncul dari dua arah. Di satu sisi, ada yang menganggap fiqh terlalu konservatif dan tidak responsif terhadap isu-isu lingkungan modern. Di sisi lain, ada pula yang menilai bahwa fiqh terlalu permisif terhadap eksploitasi, karena memberikan ruang besar bagi kepemilikan pribadi dan pasar. Namun kedua kritik ini, jika ditelusuri lebih jauh, justru menunjukkan bahwa fiqh lingkungan berada di titik tengah: ia tidak menafikan kebutuhan manusia akan sumber daya, tetapi juga tidak melepaskan tanggung jawab moral terhadap alam. Fiqh bukan tentang larangan mutlak atau pembolehan mutlak, tetapi tentang keadilan, keseimbangan, dan pertanggungjawaban.
Maka dari itu, fiqh lingkungan harus terus dikembangkan dengan melibatkan para ahli lingkungan, ilmuwan sosial, dan ulama, dalam ruang dialog interdisipliner. Tantangan lingkungan tidak bisa dijawab hanya dengan fatwa atau regulasi, tetapi membutuhkan pendekatan yang menyentuh struktur sosial, ekonomi, dan budaya umat Islam itu sendiri. Gerakan eco-fiqh atau green Islam yang mulai berkembang di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Maroko adalah contoh dari sinergi tersebut, yang menyatukan prinsip-prinsip syariat dengan sains ekologi kontemporer.
Fiqh lingkungan adalah jalan tengah antara eksploitasi dan konservasi. Ia mengajarkan bahwa alam bukan hanya objek pemanfaatan, tetapi juga subjek etika. Dengan menjadikan prinsip-prinsip Islam sebagai panduan, umat Islam dapat menata ulang hubungan mereka dengan bumi—bukan sebagai pemilik yang semena-mena, tetapi sebagai khalifah yang bertanggung jawab. Dunia Islam memiliki warisan pemikiran yang kaya untuk menyumbangkan solusi bagi krisis ekologis global. Tinggal bagaimana warisan itu dihidupkan, ditafsirkan ulang, dan diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Abu Dawud. (n.d.). Sunan Abu Dawud.
Al-Qaradawi, Y. (2001). Ri’ayat al-Bi’ah fi al-Shari’ah al-Islamiyyah [Perlindungan Lingkungan dalam Syariat Islam]. Beirut: Dar al-Shuruq.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.
Izzi Dien, M. (2000). The Environmental Dimensions of Islam. Cambridge: Lutterworth Press.
Kamali, M. H. (2010). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford: Oneworld Publications.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press.
Qur’an al-Karim. (n.d.). Terjemahan dan tafsir sebagaimana dikutip dalam artikel.
Jika Anda memerlukan versi jurnal yang siap dikirim ke publikasi akademik atau versi populer untuk disebarluaskan ke media Islam, saya siap bantu menyesuaikannya.



