Wakaf Hijau: Skema Ekonomi Syariah untuk Rehabilitasi Lingkungan

Di tengah gelombang perubahan iklim yang melanda planet ini, kita menyaksikan betapa kerusakan lingkungan tak lagi sekadar ancaman ekologis, tetapi telah menjadi krisis moral dan spiritual. Hutan menghilang, air bersih menyusut, dan udara menjadi racun tak kasatmata. Ironisnya, kerusakan ini bukan semata akibat dari ketidaktahuan, melainkan buah dari ketamakan dan sistem ekonomi yang meminggirkan etika. Dalam kekacauan ini, dunia mencari alternatif. Dan dari khazanah Islam, muncul satu instrumen yang selama ini tersembunyi dalam debu sejarah: wakaf. Artikel ini mengangkat kembali konsep wakaf hijau sebagai skema ekonomi syariah yang bukan hanya mendanai proyek lingkungan, tetapi juga menawarkan paradigma baru dalam membangun masa depan bumi yang lestari dan berkeadilan.

Wakaf secara terminologi fiqih adalah penahanan suatu harta yang kekal zatnya dan digunakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan (al-Kasani, 1997). Dalam sejarah Islam, wakaf identik dengan pembangunan masjid, madrasah, rumah sakit, dan layanan sosial lainnya. Namun sejatinya, ruh dari wakaf tidak terbatas pada bangunan fisik. Ia adalah manifestasi dari pengabdian jangka panjang yang berakar pada nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Berabad-abad lamanya, umat Islam mengelola wakaf sebagai mekanisme distribusi kekayaan yang menolak ketimpangan. Kini, saat dunia berada di ujung tanduk krisis lingkungan, waktunya memperluas cakrawala wakaf. Tidak lagi hanya sebagai amal spiritual, tetapi sebagai skema pembiayaan ekologis yang berkelanjutan. Inilah yang disebut wakaf hijau — inovasi yang menjadikan harta wakaf sebagai penopang program rehabilitasi lingkungan hidup: hutan, sungai, pesisir, dan udara.

Prinsip dasar wakaf memiliki hubungan erat dengan prinsip keberlanjutan. Wakaf bukanlah konsumsi sesaat, melainkan investasi abadi untuk generasi mendatang. Ini selaras dengan prinsip istikhlaf (penggantian peran manusia sebagai khalifah di bumi), yang menuntut manusia menjaga warisan bumi (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30) dan tidak membuat kerusakan di atasnya (Q.S. Al-A’raf [7]: 56). Dalam perspektif maqashid al-shari’ah, pelestarian lingkungan (hifz al-bi’ah) dapat dimaknai sebagai bagian dari penjagaan jiwa (hifz al-nafs), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal) (Auda, 2008). Maka, mendorong wakaf untuk tujuan ekologis bukanlah penyimpangan hukum, melainkan penyempurnaan fungsi sosial Islam. Wakaf hijau, dengan demikian, adalah bentuk baru dari ibadah sosial yang menjawab tantangan zaman. Ia menggabungkan nilai spiritual, logika ekonomi, dan kepedulian ekologis dalam satu gerakan.

Gagasan wakaf hijau dapat diterjemahkan dalam berbagai bentuk proyek konkret. Sebagai contoh, lahan tidur yang diwakafkan bisa direklamasi menjadi hutan kota atau kawasan resapan air. Di beberapa wilayah, lahan wakaf dapat dijadikan agroforestri, kombinasi antara pertanian dan kehutanan yang ramah lingkungan dan produktif secara ekonomi. Contoh praktik ini dapat kita lihat dari Turki yang telah memanfaatkan wakaf untuk konservasi taman nasional dan restorasi situs bersejarah berbasis ekologi (Çizakça, 2000). Di Indonesia, peluang ini terbuka lebar: jutaan meter persegi tanah wakaf belum termanfaatkan secara optimal. Bayangkan jika sebagian di antaranya difokuskan untuk rehabilitasi hutan bakau, penanaman pohon endemik, atau pembangunan fasilitas edukasi lingkungan. Lebih dari itu, wakaf uang juga bisa diarahkan untuk membiayai proyek hijau berbasis komunitas. Dengan pendekatan cash waqf linked sukuk (CWLS), misalnya, dana wakaf dapat digabungkan dengan obligasi syariah yang digunakan untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya, fasilitas pengolahan air bersih, atau pendanaan pertanian organik. Skema seperti ini mulai diuji coba di Indonesia sejak 2020 melalui kerja sama Kementerian Keuangan dan Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Kapitalisme hijau sering digadang-gadang sebagai solusi ramah lingkungan. Namun dalam praktiknya, ia tetap dikendalikan oleh logika pasar dan akumulasi keuntungan. Banyak proyek hijau hanya menutupi wajah eksploitatif perusahaan dengan lapisan tipis CSR. Dalam hal ini, wakaf hijau menawarkan alternatif radikal: ia tidak berorientasi pada laba, melainkan pada keberlanjutan, distribusi manfaat, dan akuntabilitas sosial. Sebagai instrumen berbasis kepemilikan kolektif (non-privatisasi), wakaf menghapus eksklusivitas atas sumber daya. Tanah, air, dan energi bukan sekadar aset ekonomi, melainkan amanah ilahi yang harus dikelola bersama. Ini kontras dengan paradigma ekonomi konvensional yang sering menempatkan alam sebagai komoditas.

Dalam tradisi Islam, ibadah tidak hanya sujud di atas sajadah, tetapi juga mencakup kerja-kerja kemanusiaan dan keberlangsungan kehidupan. Menghidupkan bumi adalah bentuk ibadah yang jarang disebutkan namun dijanjikan pahala besar. Nabi Muhammad bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau binatang memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, ketika seseorang mewakafkan tanah untuk ditanami pohon, ia bukan hanya menanam oksigen, tapi juga menanam pahala yang terus tumbuh. Wakaf hijau, dalam perspektif ini, bukan sekadar program ekonomi, tetapi zikir ekologis yang berbunyi dalam diam: dedaunan, akar, dan air mengucap syukur atas penjagaan manusia.

Wakaf hijau adalah panggilan zaman dan peluang sejarah. Di tengah krisis ekologis yang melanda bumi, umat Islam tidak bisa hanya bersandar pada doa dan retorika. Diperlukan lompatan imajinasi—merekonstruksi ulang fikih wakaf, memperluas cakupan manfaat, dan membangun institusi-institusi yang mampu menyalurkan potensi wakaf ke arah yang berkelanjutan. Wakaf tidak boleh berhenti sebagai tumpukan sertifikat tanah yang terabaikan. Ia harus menjadi energi hidup yang mengalir ke akar-akar bumi yang haus, daun-daun yang rontok, dan sungai-sungai yang mengering. Sebab kelak, manusia akan ditanya bukan hanya tentang salat dan zakat, tapi juga tentang apa yang ia wariskan kepada bumi yang dititipkan padanya.

Daftar Pustaka
Auda, J. (2008). Maqasid Al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: IIIT.
Çizakça, M. (2000). A History of Philanthropic Foundations: The Islamic World from the Seventh Century to the Present. Istanbul: Boğaziçi University Press.
al-Kasani, A. (1997). Bada’i al-Sana’i fi Tartib al-Shara’i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2020). Cash Waqf Linked Sukuk sebagai Inovasi Pembiayaan Sosial. Diakses dari www.kemenkeu.go.id
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press.
Qur’an al-Karim. (n.d.). Terjemah dan tafsir.
Sahih Bukhari dan Muslim. (n.d.). Hadis tentang tanaman dan sedekah.

Bagikan

Berikan Masukan Anda

Kami di CIES berkomitmen untuk terus menghadirkan konten yang berkualitas dan relevan seputar studi fokus kami. 

Kegiatan

Ebook

Publikasi buku hasil kajian dan pengembangan keilmuan dari para peneliti CIES

Jurnal

Artikel ilmiah terkini yang mengkaji isu lingkungan dalam perspektif Islam secara multidisipliner.