Islam tidak memandang alam semesta sekadar sebagai latar belakang kehidupan manusia, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari wujud keesaan Allah. Langit dan bumi, gunung dan laut, semua tunduk dalam kepasrahan, bertasbih dalam diam, mengikuti irama kosmik yang teratur. Maka ketika manusia hidup tanpa meresapi keterhubungannya dengan semesta, ia sejatinya telah memutus jalinan spiritual dengan Sang Pencipta.
Ekoteologi Islam adalah kesadaran bahwa menjaga alam bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga bentuk penghambaan. Spiritualitas Islam tidak hanya diwujudkan melalui ritual ibadah, tetapi juga melalui perilaku terhadap makhluk lain—termasuk lingkungan hidup. Dalam pandangan ini, etika dan ekosistem menyatu dalam satu jalinan akhlak. Setiap daun yang tumbuh, setiap air yang jernih, setiap tanah yang subur, semuanya adalah amanah, dan manusia ditugaskan untuk menjadi penjaganya, bukan penguasa sewenang-wenang.
Akhlak terhadap alam adalah perpanjangan dari akhlak kepada sesama dan kepada Allah. Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau melarang menyiksa binatang, memerintahkan untuk menanam pohon, bahkan ketika kiamat telah dekat. Ini bukan sekadar nasihat ekologis, tetapi ungkapan cinta spiritual terhadap ciptaan Tuhan. Dalam tradisi Islam, bumi tidak hanya tempat berpijak, tetapi juga saksi amal manusia. Ia berbicara, merekam, dan akan bersaksi pada hari pembalasan.
Ketika manusia memandang air hanya sebagai komoditas, tanah sebagai alat produksi, dan udara sebagai ruang kosong, maka ia kehilangan makna terdalam dari keberadaan. Islam justru mengajarkan bahwa air adalah kehidupan, tanah adalah rahim kehidupan, dan udara adalah napas-Nya yang menghidupkan. Oleh karena itu, merawat alam adalah bagian dari kesalehan yang menyeluruh. Tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat, antara ibadah ritual dan ibadah ekologis.
Ekoteologi Islam memulihkan cara pandang manusia terhadap alam. Ia mengajak untuk bersujud bukan hanya dalam shalat, tetapi juga dalam cara menanam, cara membuang sampah, cara menggunakan air, dan cara hidup berdampingan dengan ciptaan lainnya. Ia menghidupkan kesadaran bahwa setiap perbuatan yang menjaga harmoni bumi adalah dzikir dalam tindakan. Ia menumbuhkan rasa tanggung jawab yang berakar dalam cinta, bukan rasa takut.
Di tengah krisis lingkungan yang melanda zaman ini, Islam menawarkan jalan sunyi yang agung: merawat alam sebagai bentuk ibadah. Ini bukan sekadar solusi, tapi jalan pulang. Kembali kepada fitrah manusia sebagai khalifah yang lembut, bijaksana, dan penuh kasih. Sebab pada akhirnya, bumi yang kita jaga hari ini adalah warisan untuk anak cucu, dan persembahan untuk Tuhan yang menitipkannya.



