SDGs, Agenda Global, dan Nilai Islam

Agenda global untuk pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan upaya kolektif dunia dalam menjawab tantangan zaman: kemiskinan, ketimpangan, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial. Namun bagi sebagian umat Islam, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana menyikapi agenda global ini dalam bingkai nilai-nilai Islam? Apakah tujuan pembangunan berkelanjutan sejalan dengan prinsip syariah? Jawabannya dapat ditemukan dalam pendekatan maqashid syariah, yaitu pemahaman tentang tujuan-tujuan utama dari hukum Islam yang bersifat universal, rasional, dan inklusif.

Maqashid syariah memuat lima prinsip pokok: menjaga agama (hifz al-din), menjaga jiwa (hifz al-nafs), menjaga akal (hifz al-‘aql), menjaga keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal). Dalam perkembangannya, para cendekiawan kontemporer menambahkan dimensi-dimensi lain seperti penjagaan terhadap lingkungan (hifz al-bi’ah) dan martabat manusia (hifz al-‘irdh) sebagai bagian integral dari maqashid syariah yang hidup dan dinamis. Jika dilihat dari dimensi ini, maka banyak poin dalam SDGs sejatinya merupakan perwujudan dari maqashid syariah dalam kerangka global.

Tujuan SDGs seperti pengentasan kemiskinan, jaminan kesehatan dan pendidikan, kesetaraan gender, akses air bersih, energi terbarukan, hingga perlindungan terhadap ekosistem darat dan laut, semuanya memiliki padanan dalam ajaran Islam. Misalnya, prinsip hifz al-nafs berkaitan erat dengan SDG nomor 3 (kesehatan dan kesejahteraan), sementara hifz al-mal selaras dengan upaya mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan tidak perlu dilihat sebagai agenda luar yang asing, melainkan sebagai kesempatan untuk menghadirkan nilai-nilai Islam dalam kerja nyata peradaban global.

Namun demikian, sinkronisasi antara SDGs dan maqashid syariah bukan berarti menyalin begitu saja tanpa kritik. Islam memberikan bingkai etis yang tegas terhadap arah dan cara pembangunan. Pembangunan yang mengorbankan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi, misalnya, tidak dapat dibenarkan dalam maqashid syariah. Begitu pula pembangunan yang mengabaikan spiritualitas manusia, yang hanya mengukur keberhasilan dari indikator materi. Islam memandang keberlanjutan tidak hanya dalam aspek duniawi, tetapi juga ukhrawi; tidak hanya menyejahterakan manusia, tetapi juga membentuk insan yang bertakwa.

Sinkronisasi ini menjadi semakin relevan ketika umat Islam terlibat langsung dalam proses implementasi SDGs, baik sebagai pengambil kebijakan, akademisi, aktivis, maupun warga biasa. Pendekatan maqashid syariah memungkinkan mereka untuk memaknai tujuan-tujuan pembangunan dengan cara yang khas namun tetap terbuka. Ia menjadi jembatan antara komitmen spiritual dan tanggung jawab sosial; antara ibadah dan aksi; antara lokalitas Islam dan globalitas dunia.

Dengan demikian, SDGs dan maqashid syariah bukan dua kutub yang berseberangan, tetapi dua jalan yang dapat berjalan seiring, saling memperkuat. Integrasi ini bukan sekadar adaptasi, melainkan kontribusi: bahwa Islam, dengan tradisi etis dan spirit keadilannya, dapat memberi ruh pada agenda pembangunan global. Dalam dunia yang sedang mencari arah dan keseimbangan baru, maqashid syariah menawarkan landasan moral yang kokoh dan penuh harapan—bahwa keberlanjutan sejati adalah keberlanjutan yang memuliakan manusia, melindungi alam, dan mendekatkan kita pada Sang Pencipta.

Bagikan

Berikan Masukan Anda

Kami di CIES berkomitmen untuk terus menghadirkan konten yang berkualitas dan relevan seputar studi fokus kami. 

Kegiatan

Ebook

Publikasi buku hasil kajian dan pengembangan keilmuan dari para peneliti CIES

Jurnal

Artikel ilmiah terkini yang mengkaji isu lingkungan dalam perspektif Islam secara multidisipliner.