Pesantren Hijau: Model Pendidikan Berbasis Islam dan Ekologi

Model pendidikan Islam selama ini dipandang memiliki potensi besar dalam membentuk kesadaran moral, spiritual, dan sosial peserta didiknya. Namun, dalam konteks krisis lingkungan global dewasa ini, muncul urgensi untuk meninjau kembali paradigma pendidikan Islam agar turut berperan dalam membangun kesadaran ekologis. Dalam hal ini, konsep pesantren hijau hadir sebagai bentuk integrasi antara pendidikan Islam dan nilai-nilai ekologi, yang secara teoretis dapat dijelaskan melalui pendekatan multidisipliner: pendidikan Islam, teologi lingkungan, dan etika keberlanjutan.

Secara konseptual, pesantren hijau adalah model pendidikan Islam yang mengintegrasikan prinsip-prinsip dasar Islam—seperti tauhid, khilafah, dan amanah—dengan prinsip-prinsip ekologis, seperti pelestarian alam, daur ulang sumber daya, dan pertanian berkelanjutan. Tauhid sebagai asas utama ajaran Islam tidak hanya mengafirmasi keesaan Allah, tetapi juga menyiratkan keterhubungan ontologis antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam perspektif ini, kerusakan lingkungan bukan hanya masalah fisik atau ekonomi, melainkan bentuk disorientasi spiritual—ketika manusia memutus relasi sakral dengan alam sebagai bagian dari ciptaan Allah.

Konsep khilafah (peran manusia sebagai wakil Allah di bumi) menjadi dasar teologis untuk tanggung jawab ekologis. Dalam konteks pendidikan, nilai khilafah dapat diterjemahkan sebagai dorongan untuk membentuk karakter peserta didik agar bertanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan. Amanah, dalam pengertian etis, menegaskan bahwa bumi adalah titipan yang harus dijaga, bukan objek eksploitasi. Ketiga nilai ini menjadi fondasi dari bangunan pesantren hijau sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya fokus pada pembentukan kognitif dan ritual keagamaan, tetapi juga membina kepedulian ekologis sebagai bagian dari keberagamaan yang utuh.

Dalam kajian pendidikan Islam, integrasi nilai ekologi dapat dijelaskan melalui teori pendidikan berbasis nilai (value-based education). Pendekatan ini menekankan pembentukan kepribadian melalui internalisasi nilai-nilai luhur secara berkelanjutan. Pesantren sebagai institusi tradisional memiliki infrastruktur sosial yang mendukung model ini, antara lain melalui sistem pembinaan harian, keteladanan kiai, pembiasaan kolektif, serta lingkungan belajar yang relatif tertutup dan terkondisikan. Hal ini membuat proses pembentukan perilaku ramah lingkungan menjadi lebih efektif dibanding lembaga pendidikan umum.

Secara epistemologis, pengembangan pesantren hijau juga dapat dianalisis melalui pendekatan integratif-interkonektif. Paradigma ini menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, serta mendorong rekonstruksi kurikulum yang menghubungkan ajaran keislaman dengan ilmu pengetahuan kontemporer, termasuk ekologi dan ilmu lingkungan. Pesantren hijau secara teoretis dapat memfasilitasi dialog antara teks-teks keislaman klasik dengan tantangan zaman modern melalui reinterpretasi ajaran-ajaran fikih lingkungan, etika konsumsi, dan konsep kemaslahatan (maslahah) dalam konteks krisis ekologis.

Selain itu, pendekatan sistemik juga relevan untuk menjelaskan posisi pesantren hijau sebagai agen konservasi lokal. Pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai entitas sosial-budaya yang dapat memengaruhi masyarakat sekitar melalui contoh nyata dan praktik langsung. Dalam teori perubahan sosial berbasis komunitas (community-based change), lembaga-lembaga akar rumput seperti pesantren memiliki peran penting sebagai katalis transformasi perilaku di tingkat lokal. Maka, pesantren hijau dapat menjadi simpul penting dalam upaya konservasi sumber daya alam berbasis masyarakat.

Secara teoritis, pesantren hijau juga bersesuaian dengan gagasan eco-pedagogy, yakni pendidikan yang mendasarkan proses belajar pada kesadaran lingkungan, keadilan sosial, dan keberlanjutan hidup. Konsep ini mengedepankan pembelajaran yang tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga transformatif—mengubah cara pandang peserta didik terhadap dirinya, masyarakat, dan alam. Dalam bingkai Islam, ini sejalan dengan makna tazkiyah (pensucian jiwa) dan tarbiyah (proses pengembangan manusia secara holistik).

Dengan demikian, pesantren hijau secara teoritis merupakan titik temu antara nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip ekologi dalam kerangka pendidikan. Ia menawarkan model pendidikan integratif yang mengedepankan spiritualitas, moralitas, dan tanggung jawab ekologis dalam satu sistem yang utuh. Dalam konteks teoritis ini, pesantren hijau tidak hanya menjawab kebutuhan akan pendidikan yang relevan dengan isu lingkungan, tetapi juga memberikan kontribusi konseptual terhadap pembaruan paradigma pendidikan Islam di era krisis peradaban.

Bagikan

Berikan Masukan Anda

Kami di CIES berkomitmen untuk terus menghadirkan konten yang berkualitas dan relevan seputar studi fokus kami. 

Kegiatan

Ebook

Publikasi buku hasil kajian dan pengembangan keilmuan dari para peneliti CIES

Jurnal

Artikel ilmiah terkini yang mengkaji isu lingkungan dalam perspektif Islam secara multidisipliner.